14 Februari 2013

Balada Makan Siang

Semenjak warung nasi Kurnia di sebelah kantor kami dibeli oleh sebuah perusahaan swasta dan akan dibangun SPBU, maka tingkat kebingungan menjelang jam makan siang menjadi meningkat. Kami dulu sering berkumpul di warung itu sembari menikmati nasi dan menu sunda secara parasmanan. Kawan-kawan SPG Griya Pasteur sering juga berkumpul disitu, biasanya ruang makan yang bersih menjadi harum dan terasa “segar”. Terkadang ada juga muka-muka baru muncul disana. Dengan harga yang relatif murah, menu bervariasi, sistem parasmanan, dan teteh penjualnya yang ramah tentu saja menjadi daya tarik tersendiri bagi pemburu makan siang dengan isi dompet pas-pasan. Sebetulnya, persis di sebelah griya ada juga food corner dengan suasana yang terkadang berisik berasal dari entertainment Griya Pasteur. Pelanggannya tidak banyak, sekaligus harganya yang relatif lebih mahal, juga menunya kurang variatif. Siang tadi saya mencoba menimati sepiring nasi putih dan seporsi sop buntut (dua potong daging buntut dan tulangnya) harus merelakan sejumlah Rp. 25.000 berpindah ke pundinya penjual. Gilaaaa ….. kapok rasanya makan disana. Uang segitu bisa untuk makan siang berdua. Bergeser ke arah Barat, ada warteg yang murah meriah. Beberapa kawan kurang pas dengan suasana yang (menurut mereka) kurang bersih, baik dari segi tempat maupun barang dagangannya. Namun tidak bisa dipungkiri lagi kalau warteg menjadi pilihan banyak orang terutama yang tingkat ekonominya pas-pasan. Hampir di ujung jalan sana, sebuah warung padang sederhana berlabelkan “Talago Biru” menjadi tempat persinggahan favorit bagi saya. Menu ikan bakarnya boleh untuk dibanggakan, terasa maknyus sekali. Pilihan lainnya adalah daging cincang, kuahnya betul-betul nikmat. Sayangnya, Uni yang melayani seringkali salah menafsirkan ketika saya minta kuah cincang maka yang diberinya adalah kuanh tunjang (kikil) yang cita rasanya sangat hambar dan datar. Untungnya, aktivitas “berburu makan siang” tidak setiap hari saya lakukan. Biasanya ada bekal makan siang yang saya bawa dari rumah dan dipanaskan dulu sebelum dinikmati. Selain bisa menghemat pengeluaran, bekal makan siang yang dibawa dari rumah juga diyakini lebih sehat karena tidak mengandung bahan penyedap rasa. Siang ini, seperti biasa saya mengarahkan langkah menuju warungnya si Uni sambil menikmati cerahnya cuaca siang. Ketika melintas di belakang BTC, tiba-tiba saya tersadar/teringat bahwa di atas meja kerja saya sudah tersedia menu makan siang yang dibawa dari rumah. Yaa ampuuuunn …. Sudah setua apa sih saya ini? Akhirnya sambil tersenyum malu pada diri sendiri, balik langkah kembali ke kantor untuk menikmati makan siang yang gratis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar