23 Desember 2008

Ahhhh …… ternyata …………….

Seperti biasa selepas makan sahur, saya membantu ibu membereskan meja makan dan mencuci piring-piring kotor. Di rumah kami memang tidak ada pembantu sehingga semuanya harus dikerjakan secara bergotong-royong. Sebagai anak ketiga dari lima bersaudara tentunya pekerjaan tersebut bukanlah pekerjaan yang berat. Saya sering teringat dengan nasehat guru agama saya di sekolah agar saya menjadi anak yang sholeh dan berbakti kepada orang tua. Saya bersyukur, karena meskipun terlahir sebagai anak laki-laki namun saya sudah tidak canggung mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang biasa dilakukan oleh anak perempuan. Saya berharap setelah nanti saya lulus SMP saya dapat melanjutkan ke SMA pilihan saya.

Sayup-sayup terdengar azan subuh dari surau yang tidak jauh dari rumah kami. Setelah menyelesaikan urusan di dapur, saya segera mengambil wudhu dan bergegas ke surau untuk melaksanakan sholat subuh berjamaah.

Sepulang dari surau, secepat kilat saya arahkan sepeda mini saya ke simpang tiga rumpun bambu. Dari tempat ini saya dengan leluasa mengamati sebuah rumah sederhana yang dindingnya terbuat dari papan. Yaaa … rumah kayu itu, sudah tidak asing lagi bagi saya. Di dalam rumah inilah hatiku tertambat pada sesosok makhluk cantik ciptaan Tuhan yang sanggup menggetarkan relung-relung hatiku yang paling dalam.

Kriiinggg …… kriiiinnggg …….. kubunyikan bel sepeda sebagai kode yang telah kami sepakati sebagai ‘telepon rindu’ . Tidak lama kemudian muncullah sesosok makhluk cantik yang aku tunggu-tunggu. Danti, demikian nama sang bidadari pujaan hatiku. Wajahnya cantik, senyumnya menawan, kulitnya bersih, rasanya tidak ada cacat sedikitpun di mataku.

Aku mulai akrab dengan Danti ketika dia menjalani operasi sinusitis di rumah sakit. Sebagai ketua kelas maka saya merasa berkewajiban untuk menjenguknya di rumah sakit. Hampir tiap sore saya menyempatkan untuk menjenguknya. Ternyata, disinilah awal mula tumbuhnya rasa simpati saya padanya.

“jalan-jalan yuuuk ………… ” begitu ajakku mencoba memecah keheningan di pagi itu. Tanpa banyak tanya Danti segera melompat duduk di boncengan sepedaku. Kukayuh perlahan-lahan layaknya dua sejoli yang sedang dimabuk asmara.
“mau kemana nih?” kucoba memberikan pilihan pada Danti.
“terserah, kan Abang yang bawa saya” jawabnya polos.
“kalau begitu ke tempat biasa aja ya?!” demikian aku memutuskan.

Kami duduk-duduk di pinggiran sungai Musi di bawah rindangnya pohon akasia. Di hadapan kami nun jauh di seberang sana belum terlihat aktivitas para nelayan bugis dengan perahu layarnya. Sebentar lagi matahari terbit, satu-dua nelayan dengan perahu jukungnya melintas. Ada juga nelayan yang menebarkan jaringnya mencoba menangkap ikan-ikan kecil kekayaan perut Sungai Musi.

Kucoba rapatkan dudukku pada Danti sang pujaan hatiku.
Kubelai tangannya, Danti diam saja. Ingin sekali kuucapkan sesuatu, namun seperti ada beban yang sangat berat menghimpit dadaku sehingga aku tidak bisa berucap. Yaa Tuhan apa yang terjadi denganku ?
“Danti, ada yang ………..” entah kenapa aku tidak mampu meneruskan kata-kataku.
Kucoba sekali lagi dengan terlebih dahulu menarik napas panjang “Danti, ada yang Abang mau sampaikan” ahh ….. dadaku bergemuruh, jantungku berdegup kencang, dan tenggorokanku terasa ada yang mencekik. Tidak seperti biasanya aku segugup ini.

“ada apa Bang, mau bilang apa?” demikian Danti manjaaaa sekali.
Kucoba lebih rapatkan lagi dudukku disampingnya sembari kupegang erat tangannya.
“begini Danti, kita kan …………..” entah kenapa saya tidak bisa melanjutkan kata-kataku. Bibirku seakan tidak bisa berucap.
Kucoba lebih rapatkan lagi dudukku di samping Danti.
“ Abang pengeeeeen sekali ………..”
dan untuk menghilangkan rasa gugupku kurapatkan lagi dudukku.
Tiba-tiba ……… gedubraaaakkkk …………….

Kepalaku terasa sakit berdenyut-denyut. Kudapati tubuhku berada di lantai. Kucoba-coba mengingat apa yang sedang terjadi. aahhhh ……. Ternyata aku sedang mimpi …………….

Sungai Gerong, Desember 1983.

Nostalgia Sungai Gerong, pengalaman masa kecilku

Saya dilahirkan di sebuah desa kecil bernama Sungai Gerong, terletak di tepian Sungai Musi, kira-kira 20 km dari Kota Palembang. Sebagai anak dari keluarga Pertamina, maka sejak naik kelas 3 SD kami menempati rumah dinas di Kampung Baru yang terisolir dari dunia luar. Bermain, belajar, dan mencari pengalaman semuanya saya dapatkan dari lingkungan perumahan yang serba lengkap tersebut.

Sebuah kali (sungai) kecil di sisi boulevard menjadi saksi bisu akan ketangkasan saya memancing ikan betok yang rasanya sangat lezat. Hampir setiap hari saya menyusuri sungai kecil ini untuk memuaskan saya dalam hobi memancing. Dengan pepohonan rindang di boulevard tersebut menjadikan saya sangat betah dengan aktivitas tersebut sehingga tanpa terasa hari semakin gelap.

Selain memancing, hobi saya yang lain adalah berenang. Tentunya bukan di sungai Musi, tetapi di kolam renang yang disediakan oleh perusahaan. Dengan membayar biaya berlangganan yang sangat murah, saya dapat berenang sepuas hati di kolam renang yang airnya sangat bersih tersebut.

Setelah menjalani 6 tahun di SD Taman Muda 3 Taman Siswa, 3 tahun di SMP Yaktapena III, serta 3 tahun di SMA Yakapena 2 Sungai Gerong, akhirnya saya memutuskan untuk hijrah ke Bandung pada tahun 1986 mengikuti suara hati untuk bersekolah di sebuah perguruan tinggi di jalan Ganesha. Semua kenangan yang melekat selama masa kecil harus saya tinggalkan mengikuti suratan takdir. Dan tanpa terasa, saat ini sudah 22 tahun saya meninggalkan tanah kelahiran saya. Rasa kangen itu terkadang membuncah apalagi ketika saya teringat dengan teman-temen SMA saya. Wiwiek atau Florensia adalah sahabat terbaik saya sejak SD hingga tamat SMA. Hallo Wiek, kamu sehat-sehat aja kan ? Semoga berbahagia selalu bersama suami dan anakmu. Kapan ya kita kumpul-kumpul lagi makan pempek di Piko, mengenang kebersamaan kita selama 12 tahun.

Sungai Gerong. I am still loving you.