14 Februari 2013

Filsosofi Mesin Ketek

Dalam sebuah acara kunjungan (study tour) oleh kawan-kawan mahasiswa Universitas Bina Darma Palembang, salah seorang mahasiswa bertanya tentang satelit Lapan (microsat) “apa yang harus dilakukan kalau satelit tersebut mengalami kerusakan ?”. Beuh …. Satelit bukanlah bidang kerja Mang Ipoel yang sehari-hari terbiasa makan sambal terasi. Mang Ipoel berpikir keras bagaimana menjawab pertanyaan tersebut. Bisa memalukan kalau seorang pejabat eselon III tidak bisa menjawab pertanyaan sederhana itu. Sebuah ide melintas di benak Mang Ipoel dengan menganalogikan mesin perahu ketek. Bahwa satelit sudah didesain untuk bebas perawatan dan hanya sekali pakai, seperti ballpoint Pilot buatan Japan yang sekali pakai langsung dibuang, tanpa perlu capekt-capek memikirkan isi ulang tintanya. Toh harganya kan murah sekali. Tapi kan harga satelit tidak murah ? Itu betul, tapi kalau dibandingkan dengan ongkos penjemputannya di ketinggian 700 km dari bumi, biaya memperbaikinya, dan mengirimkannya kembali ke orbitnya, maka itu bukanlah jumlah yang sedikit. Jadi, tidak begitu cara berpikirnya, dan jangan disamakan dengan mesin ketek. Kalau mesin ketek rusak, tinggal angkat, bongkar dan perbaiki. Kalau tak bisa lagi diperbaiki langsung dibawa saja ke pasar Cinde dan ditukar dengan sejumlah uang. Hahahahaha …. Tawa yang gemuruh yang menggema di ruang pertemuan berkapasitas 200 orang tersebut. Cak Halim yang asli Madura senyum-senyum pertanda puas, demikian juga dengan Neng Maryam yang asli Garaut. Sayangnya budak Prabumulih (bang Anto) kurang faham dengan kelucuan tersebut.

Hobi baru

Tiba-tiba di kediaman saya sekarang ini menjadi riuh dengan kicauan burung setiap pagi. Rumah yang dulunya sepi dan hanya terdengar “teriakan” mamah Dedeh di saat subuh menjelang pagi, kini ditingkahi pula dengan celotehan 2 ekor kenari yang sangat cerewet. Seekor pentet juga nggak kalah serunya berkompetisi dengan jargonnya ustadz Maulana “ jamaaa’aaaaaaaah .... oi jama’aaaaaaaaaaah”. Anak bungsu saya seringkali tersenyum kecut ketika keluar kamar tidurnya jam 5 subuh langsung “diteriaki” oleh si pentet dengan suaranya yang parau. Sebagai kepala keluarga yang paling duluan bangun pagi, kesibukan saya juga menjadi bertambah. Segera setelah menyelesaikan mandi pagi dan sholat subuh kemudian berpakaian yang pantas, saya langsung menjumpai para sahabat-sahabat saya tersebut. Memeriksa makanan dan air minum 2 kenari dan 1 jalak batam adalah rutinitas pagi yang pertama. Si pentet tampak begitu gembiranya ketika saya mendekat dengan beberapa jangkrik di tangan. Sayangnya dua cucak kopi tidak dapat saya perlakukan dengan cara begitu karena keduanya seakan tidak mau bertemu dengan saya. Ahhhh ... kenapa dua cucak kopi ini selalu terlihat galau setiap kali saya mendekat meskipun dengan 1 ekor jangkrik yang saya tusukkan di ujung lidi? Lain lagi dengan cucak jenggot yang selalu berkicau solo karier. Spesies yang satu ini terlihat elegan dengan jenggot dan jambulnya. Makannya juga irit, cukup 2 ekor jangkrik setiap pagi. Ada yang sangat menarik dengan cucak kopi. Biarpun malam telah menjelang namun masih terdengar riang dengan kicauannya. Pondokan saya sekarang terasa ramai baik siang maupun malam dengan kicauan burung.

Balada Makan Siang

Semenjak warung nasi Kurnia di sebelah kantor kami dibeli oleh sebuah perusahaan swasta dan akan dibangun SPBU, maka tingkat kebingungan menjelang jam makan siang menjadi meningkat. Kami dulu sering berkumpul di warung itu sembari menikmati nasi dan menu sunda secara parasmanan. Kawan-kawan SPG Griya Pasteur sering juga berkumpul disitu, biasanya ruang makan yang bersih menjadi harum dan terasa “segar”. Terkadang ada juga muka-muka baru muncul disana. Dengan harga yang relatif murah, menu bervariasi, sistem parasmanan, dan teteh penjualnya yang ramah tentu saja menjadi daya tarik tersendiri bagi pemburu makan siang dengan isi dompet pas-pasan. Sebetulnya, persis di sebelah griya ada juga food corner dengan suasana yang terkadang berisik berasal dari entertainment Griya Pasteur. Pelanggannya tidak banyak, sekaligus harganya yang relatif lebih mahal, juga menunya kurang variatif. Siang tadi saya mencoba menimati sepiring nasi putih dan seporsi sop buntut (dua potong daging buntut dan tulangnya) harus merelakan sejumlah Rp. 25.000 berpindah ke pundinya penjual. Gilaaaa ….. kapok rasanya makan disana. Uang segitu bisa untuk makan siang berdua. Bergeser ke arah Barat, ada warteg yang murah meriah. Beberapa kawan kurang pas dengan suasana yang (menurut mereka) kurang bersih, baik dari segi tempat maupun barang dagangannya. Namun tidak bisa dipungkiri lagi kalau warteg menjadi pilihan banyak orang terutama yang tingkat ekonominya pas-pasan. Hampir di ujung jalan sana, sebuah warung padang sederhana berlabelkan “Talago Biru” menjadi tempat persinggahan favorit bagi saya. Menu ikan bakarnya boleh untuk dibanggakan, terasa maknyus sekali. Pilihan lainnya adalah daging cincang, kuahnya betul-betul nikmat. Sayangnya, Uni yang melayani seringkali salah menafsirkan ketika saya minta kuah cincang maka yang diberinya adalah kuanh tunjang (kikil) yang cita rasanya sangat hambar dan datar. Untungnya, aktivitas “berburu makan siang” tidak setiap hari saya lakukan. Biasanya ada bekal makan siang yang saya bawa dari rumah dan dipanaskan dulu sebelum dinikmati. Selain bisa menghemat pengeluaran, bekal makan siang yang dibawa dari rumah juga diyakini lebih sehat karena tidak mengandung bahan penyedap rasa. Siang ini, seperti biasa saya mengarahkan langkah menuju warungnya si Uni sambil menikmati cerahnya cuaca siang. Ketika melintas di belakang BTC, tiba-tiba saya tersadar/teringat bahwa di atas meja kerja saya sudah tersedia menu makan siang yang dibawa dari rumah. Yaa ampuuuunn …. Sudah setua apa sih saya ini? Akhirnya sambil tersenyum malu pada diri sendiri, balik langkah kembali ke kantor untuk menikmati makan siang yang gratis.